Beta-bloker


Beta-blocker

Golongan Beta-blocker bekerja dengan cara memperlambat kerja jantung melalui pengurangan kontraksi otot-otot jantung dan menurunkan tekanan darah. Secara kimiawi komponen obat golongan Beta-blocker menghambat kerja noradrenalin dan adrenalin. Kerja sama kedua senyawa kimia ini berguna mempersiapkan tubuh saat menghadapi bahaya sehingga tubuh siap “lari atau lawan”. Penghambatan terhadap kerja noradrenalin dan adrenalin mengakibatkan menurunnya kontraksi otot, memperlambat kerja jantung, dan menurunkan tekanan darah.

Beta-blocer mulai diperkenalkan sejak tahun 1960-an. Pada dasarnya obat ini sangat disukai untuk pengobatan hipertensi karena hampir tidak menimbulkan efek samping (dalam jangka pendek). Akan tetapi, Penggunaan dalam jangka panjang mengakibatkan menurunkan kemampuan berolahraga. Menurunnya kemampuan ini berkaitan melemahnya kerja jantung sehingga jantung menjadi lamban. Akibatnya tubuh tidak mampu menyediakan energi dengan segera pada saat berolahraga. Ingat, suplai energi berkaitan dengan suplai oksigen dan darah dalam sel-sel tubuh. Selain itu, obat ini juga dapat mengakibatkan tangan dan kaki dingin karena kurangnya aliran darah ke daerah tersebut dan menyebabkan gangguan tidur (insomnia).

Telah dijelaskan di depan bahwa senyawa dalam obat ini mampu menghambat kerja noradrenalin dan adrenalin. Namun demikian ternyata obat ini dapat mempersempit saluran udara dalam paru-paru. Oleh karena itu,  obat ini tidak dianjurkan untuk penderita asma karena dapat memperparah penyakitnya. Obat itu juga tidak boleh diberikan pada penderita payah jantung karena bersifat mengurangi kontraksi jantung. Seperti diketahui bahwa pada penderita payah jantung, jantungnya tidak mampu memompa darah kesuluruh tubuh. Dengan berkurangnya kontraksi jantung akibat penggunaan obat Beta-blocker, justru memperparah kondisi penderita.

Beta blockers adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada syaraf-syaraf. Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.

Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas sistem renninangiotensin‐aldosteron.

Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah.

Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati.

Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2.Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol,bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saattidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). 

Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid.

Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang .lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,karena dapat terjadi fenomena rebound.

Aspek Farmakodinamik Beta Blocker

Beta blocker menghambat efek obat adrenergik, baik NE dan epi endogen maupun obat adrenergik eksogen. Beta blocker kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 daripada beta-2. Propanolol, oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol dan labetolol mempunyai efek MSA (membrane stabilizing actvity) → efek anastesik lokal.
·         Kardiovaskuler: mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
·         Menurunkan tekanan darah
·         Antiaritmia: mengurangi denyut dan aktivitas fokus ektopik
·         Menghambat efek vasodilatasi, efek tremor (melalui reseptor beta-2)
·         Efek bronkospasme (hati-hati pada asma)
·         Menghambat glikogenolisis di hati
·         Menghambat aktivasi enzim lipase
·         Menghambat sekresi renin → antihipertensi

Aspek Farmakokinetik Beta Blocker

o   Beta bloker larut lemak (propanolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol dan metoprolol) diabsorbsi baik (90%)

o   Beta bloker larut air (sotolol, nadolol, atenolol) kurang baik absorbsinya

o    Kardioselektif: asebutolol, metoprolol, atenolol, bisoprolol

o     Non kardioselektif: propanolol, timolol, nadolol, pindolol, oksprenolol, alprenolol

·                Beta blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergic, baik Norepinefrin dan Epinefrin endogen maupun obat adrenergic eksogen, pada adrenoseptor beta. Potensi hambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat takikardia yang ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena hambatan ini bersifat kompetitif reversible, maka dapat diatasi dengan meningkatkan kadar obat adrenergic. Sifat kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor beta 1 dari pada beta 2. Nonselektif artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor beta1 dan beta2. Tetapi, sifat kardioselektivitas ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi beta blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor beta 2. Beta blocker mempunyai aktivitas agonis parsial artinya, jika berinteraksi dengan reseptor beta tanpa adanya obat adrenergik seperti epinefrin atau isoproterenol, menimbulkanefek adrenergik yang lemah tetapi jelas, ini disebut juga aktivitas simpatomimetik intrinsik. Beta blocker juga mempunyai aktivitas stabilisasi membran artinya, mempunyai efekstabilisasi membrane atau efek seperti anestetik lokal atau seperti kuinidin. Ini disebut juga aktivitas anestetik lokal atau aktivitas seperti kuinidin.Efek terhadap kardiovaskuler merupakan efek beta blocker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitasmiokard. Pemberian jangka pendek mengurangi curah jantung; resistensi perifer meningkatakibat reflex simpatis merangsang reseptor alfa pembuluh darah. Dengan beta blockernonselektif, terjadi hambatan reseptor beta 2 pembuluh darah, yang juga meningkatkan resistensi perifer.

Indikasi dan Kontraindikasi Beta Blocker

a.  Indikasi

Beta blockers diindikasikan untuk merawat:

·                 irama jantung yang abnormal,

·                 tekanan darah tinggi,

·                 gagal jantung,

·                 angina (nyeri dada),

·                 tremor,

·                 pheochromocytoma, dan

·                 pencegahan migrain-migrain.

Beta blockers juga mampu mencegah lebih jauh serangan jantung dan kematian setelah serangan jantung. Obat ini juga diindikasikan untuk pengobatan-pengobatan lain termasuk perawatan hyperthyroidism, akathisia (kegelisahan atau ketidakmampuan untuk duduk dengan tenang), dan ketakutan. Beberapa beta blockers mengurangi produksi dari aqueous humor dalam mata dan oleh karenanya digunakan untuk mengurangi tekanan dalam mata yang disebabkan oleh glaukoma.

b.      Kontraindikasi

·         Penyakit Paru Obstruktif

·         Diabetes Militus (hipoglikemia)

·         Penyakit Vaskuler

·         Disfungsi Jantung

Dosis dan Sediaan Beta Blocker

a.       Dosis

Pembagian dosis beta-blockers dilakukan berdasarkan tujuan terapi. Jika digunakan untuk pengobatan hipertensi maka dosis beta-blockers harus dititrasi menurut tekanan darah yang ingin dicapai. Sementara, jika beta-blockers digunakan dalam jangka panjang seperti pada gagal jantung kronik atau pasca- infark miokard, dosis ha­rus dititrasi sesuai dengan dosis yang digunakan dalam uji klinis. Penghentian terapi beta-blockers setelah pengobatan kronik dapa­t menimbulkan beberapa gejala seperti hipertensi, aritmia, dan eksaserbasi angina.

Efek Samping Beta Blocker

Beta blockers mungkin menyebabkan :

·         Diare

·         kejang-kejang perut,

·         mual, dan muntah

·         Ruam, penglihatan yang kabur, kejang-kejang otot, dan kelelahan mungkin juga terjadi.

  Sebagai perluasan dari efek-efek mereka yang bermanfaat, mereka memperlambat denyut jantung, mengurangi tekanan darah, dan mungkin menyebabkan gagal jantung atau penghalangan jantung pada pasien-pasien dengan persoalan-persoalan jantung.

   Beta blockers harus tidak diberhentikan dengan tiba-tiba karena penghentian tiba-tiba mungkin memperburuk angina (nyeri dada) dan menyebabkan serangan-serangan jantung atau kematian mendadak.

Efek-efek sistem syaraf pusat dari beta blockers termasuk:

o   sakit kepala,

o   depresi,

o   kebingungan,

o   kepeningan,

o   mimpi-mimpi buruk, dan

o   halusinasi-halusinasi.

          Beta blockers yang menghalangi Beta-2 receptors mungkin menyebabkan sesak napas pada penderita-penderita asma (asthmatics).

         Seperti dengan obat-obat lain yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi, disfungsi seksual mungkin terjadi.

·         Beta blockers mungkin menyebabkan glukosa darah yang rendah atau tinggi dan menyembunyikan gejala-gejala dari glukosa darah rendah (hypoglycemia) pada pasien-pasien diabetik.

Contoh Obat Beta Blocker

1.      Asebutol

Nama Paten : sacral, corbutol,sectrazide.

Sediaan obat : tablet, kapsul.

Mekanisme kerja : menghambat efek isoproterenol, menurunkan aktivitas renin, menurunka outflow simpatetik perifer.

Indikasi : hipertensi, angina pectoris, aritmia,feokromositoma, kardiomiopati obtruktif hipertropi, tirotoksitosis.

Kontraindikasi : gagal jantung, syok kardiogenik, asma, diabetes mellitus, bradikardia, depresi.

Efek samping : mual, kaki tangan dingin, insomnia, mimpi buruk, lesu

Interaksi obat : memperpanjang keadaan hipoglikemia bila diberi bersama insulin. Diuretic tiazid meningkatkan kadar trigleserid dan asam urat bila diberi bersaa alkaloid ergot. Depresi nodus AV dan SA meningkat bila diberikan bersama dengan penghambat kalsium

Dosis : 2 x 200 mg/hr (maksimal 800 mg/hr).

2.      Atenolol

Nama paten : Betablok, Farnomin, Tenoret, Tenoretic, Tenormin, internolol.

Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : pengurahan curah jantung disertai vasodilatasi perifer, efek pada reseptor adrenergic di SSP, penghambatan sekresi renin akibat aktivasi adrenoseptor di ginjal.

Indikasi : hipertensi ringan – sedang, aritmia

Kontraindikasi : gangguan konduksi AV, gagal jantung tersembunyi, bradikardia, syok kardiogenik, anuria, asma, diabetes.

Efek samping : nyeri otot, tangan kaki rasa dingin, lesu, gangguan tidur, kulit kemerahan, impotensi.

Interaksi obat : efek hipoglikemia diperpanjang bila diberikan bersama insulin. Diuretik tiazid meningkatkan kadar trigliserid dan asam urat. Iskemia perifer berat bila diberi bersama alkaloid ergot.

Dosis : 2 x 40 – 80 mg/hr

3.      Metoprolol

Nama paten : Cardiocel, Lopresor, Seloken, Selozok

Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : pengurangan curah jantung yang diikuti vasodilatasi perifer, efek pada reseptor adrenergic di SSP, penghambatan sekresi renin akibat aktivasi adrenoseptor beta 1 di ginjal.

Farmakokinetik : diabsorbsi dengan  baik oleh saluran cerna. Waktu paruhnya pendek, dan dapat diberikan beberapa kali sehari.

Farmakodinamik : penghambat adrenergic beta menghambat perangsangan simpatik, sehingga menurunkan denyut jantung dan tekanan darah. Penghambat beta dapat menembus barrier plasenta dan dapat masuk ke ASI.

Indikasi : hipertensi, miokard infard, angina pectoris

Kontraindikasi : bradikardia sinus, blok jantung tingkat II dan III, syok kardiogenik, gagal jantung tersembunyi

Efek samping : lesu, kaki dan tangan dingin, insomnia, mimpi buruk, diare

Interaksi obat : reserpine meningkatkan efek antihipertensinya

Dosis : 50 – 100 mg

4.      Propranolol

Nama paten : Blokard, Inderal, Prestoral

Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : tidak begitu jelas, diduga karena menurunkan curah jantung, menghambat pelepasan renin di ginjal, menghambat tonus simpatetik di pusat vasomotor otak.

Farmakokinetik : diabsorbsi dengan  baik oleh saluran cerna. Waktu paruhnya pendek, dan dapat diberikan beberapa kali sehari. Sangat mudah berikatan dengan protein dan akan bersaing dengan obat – obat lain yang juga sangat mudah berikatan dengan protein.

Farmakodinamik : penghambat adrenergic beta menghambat perangsangan simpatik, sehingga menurunkan denyut jantung dan tekanan darah. Penghambat beta dapat menembus barrier plasenta dan dapat masuk ke ASI.

Indikasi : hipertensi, angina pectoris, aritmia jantung, migren, stenosis subaortik hepertrofi, miokard infark, feokromositoma

Kontraindikasi : syok kardiogenik, asma bronkial, brikadikardia dan blok jantung tingkat II dan III, gagal jantung kongestif. Hati – hati pemberian pada penderita biabetes mellitus, wanita haminl dan menyusui.

Efek samping : bradikardia, insomnia, mual, muntah, bronkospasme, agranulositosis, depresi.

Interaksi obat : hati – hati bila diberikan bersama dengan reserpine karena menambah berat hipotensi dan kalsium antagonis karena menimbulkan penekanan kontraktilitas miokard. Henti jantung dapat terjadi bila diberikan bersama haloperidol. Fenitoin, fenobarbital, rifampin meningkatkan kebersihan obat ini. Simetidin menurunkan metabolism propranolol. Etanolol menurukan absorbsinya.

Dosis : dosis awal 2 x 40 mg/hr, diteruskan dosis pemeliharaan.

B.     Adrenergik

Dikatakan obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergic, atau mirip efek neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin ( yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin ). Golongan obat ini disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik yaitu zat – zat yang dapat menimbulkan ( sebagian ) efek yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus ( SS ) dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung – ujung sarafnya.

Kerja obat adrenergic dapat dikelompokkan dalam 7 jenis yaitu :

1.         Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, serta kelenjar    liur dan keringat.

2.         Penghambatan organ perifer : otot polos usus, bronkus dan pembuluh darah otot rangka

3.         Perangsangan jantung      : dengan akibat peningkatan denyut jantung  dan kekuatan kontraksi

4.         Perangsangan SSP : misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan

5.         Efek metabolic : misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan penglepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

6.         Efek endokrin : misalnya modulasi sekresi insulin, rennin, dan hormone hipofisis

7.         Efek prasinaptik : dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan neurotransmitter NE atau Ach ( acetyl colin ).

Adrenergic dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di sel – sel efektor dari organ – ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta. Perbedaan antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin ( NA ), dan isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka bagi NA, sedangkan reseptor-beta lebih sensitive bagi isoprenalin.

Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologisnya yaitu dalam   alfa-1 dan alfa-2 serta beta-1 dan beta-2.Pada umumnya stimulasi dari masing-masing reseptor itu menghasilkan efek-efek sebagai berikut :

·           Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel-sel kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.

          Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenegis dengan turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh di saraf kolinergis dalam usus pun terhambat sehingga antara lain menurunnya peristaltic.

           Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung ( efek inotrop dan kronotop ).

    Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.

Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut :

·           alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis artinya lewat sinaps di organ efektor

·           alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasi-naptis yaitu dimuka sinaps atau diluarnya antara lain dikulit otak,rahim,dan pelat-pelat darah. Reseptor-a1 juga terdapat presinaptis.

Contoh Obat Adrenergik antara lain :

Ø     Epinefrin

Ø     Norepinefrin

Ø     Isoproterenol

Ø     Dopamin

Ø     Dobutamin

Ø     Amfetamin

Ø     Metamfenamin

Ø     Efedrin

Ø     Metoksamin

Ø     Fenilefrin

Ø     Mefentermin

Ø     Metaraminol

Ø     Fenilpropanolamin

Ø     Hidroksiamfetamin

Ø     Etilnorepineprin

ü  EPINEFRIN

Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan bronchodilatasi ).

a.    Mekanisme Kerja

Ø    Farmakodinamika

Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.

       Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif epinefrin pada jantung.

Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat.

Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.

·       Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ tersebut  reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih ada pada kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai jantung oleh epinefrin.

Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.

Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena – vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru. Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru.

·       Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain – lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α1.

·       Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2  yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka.

Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.

Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan sebagai berikut :

·       Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan ( chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.

·       Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.

·       Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma atau akibat obat.

·       Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%, berdasarkan stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.

Ø    Farmakokinetik

·                 Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.

·      Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak  zat ini. Sebagian besar epinefrin mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.

b.    Indikasi

Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan oleh getah lambung.

c.    Kontraindikasi

Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.

d.   Efek samping

Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik epinefrin memperberat gejala – gejalanya.

ü  NOREPINEFRIN

Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-dekstronya, seperti epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin lebih disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya. Atau sebagai obat tambahan pada injeksi anastetika local.

a.    Mekanisme Kerja

Ø    Farmakodinamika

NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2.

Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang.

Reflex vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung  NE yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada pembuluh darah

Otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih besar.

b.  Indikasi

Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi pada anastetika local.

c.   Kontraindikasi

Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan pada wanita hamil karena menimbulkan kontraksi uterus hamil.

d.  Efek Samping

Efek samping NE serupa dengan  efek samping epinefrin, tetapi NE menimbulkan peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif ( misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah.

ü  ISOPROTERENOL

Obat ini juga dikenal sebagai isopropilnorepinefrin, isopropilarterenol dan isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β, dan hampir tidak bekerja pada reseptor α.

a.    Mekanisme Kerja

Ø    Farmakodinamika

Isoproterenol tersedia dalam bentuk campuran resemik. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, tetapi juga pada ginjal dan mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat.pada dosis isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung umumnya cukup besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik, tetapi tekanan rata – rata menurun. Efek isoproterenol terhadap jantung menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan aritmia yang lebih serius.

Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan relaksasi hampir semua jenis otot polos. Efek ini jelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada otot polos bronkus dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi bronkokonstriksi. Pada asma, selain menimbulkan bronkodilatasi, isoprotorenol juga menghambat penglepasan histamine dan mediator – mediator inflamasi lainnya.akibat reaksi antigen-antibodi, efek ini juga dimiliki oleh  β2-agonis yang selektif. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah dibandingkan dengan epinefrin, antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi reseptor β2 pada sel – sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek terhadap reseptor α yang menghambat sekresi insulin. Isoproterenol lebih kuat dari epinefrin dalam menimbulkan efek penglepasan asam lemak bebas dan efek kalorigenik.

b.     Indikasi

Digunakan pada kejang bronchi ( asma ) dan sebagai stimulant sirkulasi darah.

c.     Kontraindikasi

Pasien dengan penyakit arteri koroner menyebabkan aritmia dan serangan angina.

d.     Efek samping

Efek samping yang umum berupa palpitasi, takikardi, nyeri kepala dan muka merah. Kadang – kadang terjadi aritmia dan serangan angina, terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Inhalasi isoproterenol dosis berlebih dapat menimbulkan aritmia ventrikel yang fatal.

ü  DOPAMIN

a.   Mekanisme Kerja

Ø    Farmakodinamik

Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergic, dan juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivasi adrenoseptor β1. Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini karena dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium dengan hanya sedikit peningkatan di tempat – tempat lain.dengan demikian dopamin meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda mengubah tekanan diastolic ( atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin terutama berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah. Karena itu bila dopamin di gunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi dopamin yang di berikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena obat ini sukar melewati sawar darah-otak.

Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan mengikat reseptor α2 dengan afinitas sedang, afinitas terhadap reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini merupakan vasodilator kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat ( misalnya hipertensi maligna dengan kerusakan organ ) di rumah sakit untuk jangka pendek, tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk arteri koroner, arteriol aferen dan eferen ginjal dan arteri mesenteric. Masa paruh eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian 2-jam infuse ialah 10 menit. Efek samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing, takikardia atau bradikardia.

Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas intrinsic pada reseptor D1, D2 dan β2, juga menghambat ambilan katekolamin. Obat ini agaknya memperlihatkan efek hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung berat, sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus dopeksamin meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan resistensi vascular sistemik.

b.     Indikasi

Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.

c.     Kontraindikasi

Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati dengan penghambat MAO.

d.    Efek Samping

Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang berlebihan. Selama infuse dopamine dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala, hipertensi dan peningkatan tekanan diastolic.

ü  DOBUTAMIN

a.    Mekanisme Kerja

Ø    Farmakodinamika

Struktur senyawa dobutamin mirip dopamin, tetapi dengan substitusi aromatic yang besar pada gugus amino. Dobutamin merupakan campuran resemik dari kedua isomer / dan d. Isomer / adalah α1-agonis yang poten sedangkan isomer d  α1-bloker yang poten. Sifat agonis isomer / dominan, sehingga terjadi vasokontriksi yang lemah melalui aktivasi reseptor α1. Isomerd 10 kali  lebih poten sebagai agonis reseptor β daripada isomer / dan lebih selektif untuk reseptor β1 daripada β­2. 

Dobutamin menimbulkan efek inotropik  yang lebih kuat daripada efek kronotropik dibandingkan isoproterenol. Hal ini disebabkan karena resistensi perifer yang relative tidak berubah ( akibat vasokontriksi melalui reseptor α1diimbangi oleh vasodilatasi melalui reseptor β2 ), sehingga tidak menimbulkan reflex takikardi, atau karena reseptor α1 di jantung menambah efek inotropik obat ini. Pada dosis yang menimbulkan efek inotropik yang sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan automatisitas nodus SA kurang dibanding isoproterenol, tetapi peningkatan konduksi AV dan intraventrikular oleh ke-2 obat ini sebanding. Dengan demikian, infuse dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah jantung, hanya sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi perifer relative tidak berubah.

Ø    Farmakokinetik

Norepinefrin, isoproterenol dopamine dan dobutamin sebagai katekolamin tidak efektif pada pemberian oral. NE tidak diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK. Isoproterenol diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai aerosol atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini merupakan substrat yang baik untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik unuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang daripada epinefrin. Isoproterenol diambil oleh ujung saraf adrenergic tetapi tidak sebaik epinefrin dan NE. Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik pada umumnya efektif pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena obat – obat ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati sehingga efektif per oral.

b.   Indikasi

Pengobatan pada jantung

c.    Kontraindikasi

Pasien dengan fibrilasi atrium sebaiknya dihindarkan karena obat ini mempercepat konduksi AV.

d.  Efek samping

Tekanan darah dan denyut jantung dapat sangat meningkat selama pemberian dobutamin

C.     ACE Inhibitor

Obat-obatan penghambat ACE (ACE inhibitor) adalah segolongan obat yang menghambat kinerja angiotensin-converting enzyme (ACE), yakni enzim yang berperan dalam sistem renin-angiotensin tubuh yang mengatur volume ekstraseluler (misalnya plasma darah, limfa, dan cairan jaringan tubuh), dan vasokonstriksi arteri.

ACE memiliki dua fungsi utama di tubuh, fungsi pertama adalah sebagai katalisator angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan senyawa vasokonstriktor kuat. Sedangkan fungsi ACE yang kedua adalah sebagai pengurai bradikinin, yang merupakan vasodilator kuat.

Kedua fungsi ACE tersebut menjadikan penghambatan ACE penting perannya dalam perawatan penyakit tekanan darah tinggi, gagal jantung, dan diabetes mellitus tipe 2. Penghambatan ACE akan berakibat menurunnya pembentukan angiotensin II dan menurunnya metabolisme bradikinin, dengan demikian akan terjadi dilasi (pelebaran) sistematik pada arteri dan vena, serta penurunan tekanan darah arteri.

Akan tetapi penghambatan ACE, yang juga secara langsung akan menghambat pembentukan angiotensin II dapat menyebabkan pengurangan sekresi aldosteron (yang dimediasi angiotensin II) dari korteks adrenal. Hal ini akan mengakibatkan penurunan penyerapan kembali air dan natrium, serta pengurangan volume ekstraseluler.

1.   Fungsi ACE  Inhibitor

ACE memiliki dua fungsi utama di tubuh, fungsi pertama adalah sebagai katalisator angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan senyawa vasokonstriktor kuat. Sedangkan fungsi ACE yang kedua adalah sebagai pengurai bradikinin, yang merupakan vasodilator kuat.

Kedua fungsi ACE tersebut menjadikan penghambatan ACE penting perannya dalam perawatan penyakit tekanan darah tinggi, gagal jantung, dan diabetes mellitus tipe 2. Penghambatan ACE akan berakibat menurunnya pembentukan angiotensin II dan menurunnya metabolisme bradikinin, dengan demikian akan terjadi dilasi (pelebaran) sistematik pada arteri dan vena, serta penurunan tekanan darah arteri.

ACE-inhibitor yang baik adalah yang memiliki trough to peak ratio 50-66%. Perindopril memenuhi syarat tersebut karena memiliki trough to peak ratio mendekati 75-100%. Selain itu, perindopril juga memiliki ikatan yang cukup baik dalam plasma dan jaringan, yakni sebesar 17%. Dalam pengobatan sehari-hari, peredaran ACE dalam plasma hanya 10% dan efek ACE yang utama adalah dalam jaringan. Inilah kenyataan yang cukup penting, yakni kadar ACE dalam jaringan yang sangat tinggi. Tercatat ACE terdapat diberbagai jaringan seperti vaskulatur (endotel), adrenal, jantung, ginjal, paru, dan organ reproduktif.

2.   Manfaat ACE Inhibitor

a.     Mengurangi Moralitas dan mordabilitas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan, termasuk yang asistomatik).

b.     ACE-inhibitor sangat berpengaruh positif pada penderita hipertensi. Pada penderita hipertensi, kelainan utama akan terlihat pada media dinding pembuluh darah.

3.   Kelompok Obat Penghambat ACE

Terdapat 3 kelompok obat penghambat ACE, yang dibagi berdasarkan struktur molekulnya, yakni:

1.       Kelompok yang mengandung sulfidril, contohnya kaptoprildan zofenopril

2.       Kelompok yang mengandung dikarboksilat, contohnya enalapril,  ramipril,  quinapril,  perindopril, lisinopril, danbenazepril.

3.       Kelompok yang mengandung fosfonat, contohnya adalahfosinopril.

Secara umum obat ACE inhibitor dapat dibedakan atas :

1.       Obat ACE inhibitor yang bekerja langsung yaitu ; kaptopril dan lisinopril

2.       Obat ACE inhibitor yang bekerja tidak langsung (merupakan prodrug) yaitu semua yang lain.

5.    Farmakodinamik dan Farmakokinetik Kelompok Obat Kardiovaskuler

–         Katopril  : CAPTOPRIL-12,5 DAN CAPTOPRIL-25

a.     Farmakodinamik

Captopril adalh D-3 mercaptomethyl-propionyl-L-proline. Captopril mempunyai efek yang menguntungkan pada hipertensi dan gagal jantung, yaitu penekanan sistem renin-angiotensin-aldosterone.
Captopril mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II oleh inhibisi ACE (angiotensin Converting Enzym) .

b.    Farmakokinetik

Setelah pemberian secara oral captopril secara cepat diabsorpsi dan adanya makanan dalam saluran gastrointestinal berkurang 30-40%. Dalam periode 24 jam lebih dari 95% dosis yang diabsorpsi dieliminasi ke dalam urin dan 40-50%nya dalam bentuk tidak berubah.

–         Zefenopril

a.     Farmakodinamik

Kalsium Zofenopril (CAS 81938-43-4) adalah angiotensin baru converting enzyme (ACE) inhibitor, yang selain kegiatan khas kelas, terbukti memiliki efek kardioprotektif spesifik karena juga untuk kehadiran kelompok sulfhidril. Dalam kalsium zofenopril percobaan dan maleat enalapril (CAS 76095-16-4) diberikan kepada 20 sukarelawan sehat dari kedua jenis kelamin di resimen dosis diulang pada dua tingkat dosis: 30 mg dan 60 mg kalsium zofenopril dan 10 mg dan 20 mg enalapril maleat.

Penelitian dilakukan sesuai dengan jangka waktu dua, dua-urutan, desain crossover, dengan washout. ACE aktivitas di serum dan zofenopril, zofenoprilat, enalapril dan konsentrasi plasma enalaprilat ditentukan selama dan pada hari terakhir dari dua periode studi. Kedua zofenopril dan enalapril secara luas dikonversi melalui hidrolisis untuk aktif metabolit zofenoprilat dan enalaprilat, masing-masing. Zofenopril dipamerkan lengkap dan tingkat hidrolisis lebih cepat dibandingkan dengan enalapril, yang tercermin oleh tinggi untuk rasio metabolit orangtua obat Cmax dan AUCss, tau ditunjukkan oleh senyawa ini. Meskipun hanya dua tingkat dosis diselidiki dalam sidang ini, farmakokinetik kedua obat tampaknya linear.

            Sejalan dengan percobaan sebelumnya, kedua senyawa pada kedua tingkat dosis diselidiki menghasilkan inhibisi lengkap atau hampir lengkap dari aktivitas ACE dalam serum, untuk periode yang berlangsung 6-8 jam setelah pemberian, penghambatan yang masih relevan 24 jam setelahnya. The tolerabilitas dua obat pada kedua tingkat dosis terbukti sangat baik seperti yang ditunjukkan oleh gejala subyektif dan obyektif, dengan tidak adanya efek samping yang relevan, dan dengan parameter laboratorium biokimia dan tanda-tanda vital dievaluasi sebelum dan setelah sidang. Tekanan darah menunjukkan tren penurunan yang cukup dengan kedua obat, sistolik dan nilai tekanan darah diastolik yang namun dalam batas normal dalam semua mata pelajaran. Dalam hal tidak ada gejala hipotensi yang dialami. Dalam kesimpulan, zofenopril kalsium dan maleat enalapril menunjukkan toleransi yang sangat baik dan tampaknya mengerahkan kegiatan serupa di ACE serum. Perbedaan utama dalam farmakokinetik dua senyawa adalah konversi dari pro-obat untuk metabolit aktif yang lebih cepat dengan zofenopril.

b.    Farmakokinetik

Zofenopril adalah obat yang  sekali di absorpsi mengalami hidrolisis yang cepat dan lengkap dengan zofenoprilat sulfhidril yang mengandung metabolit aktif. Pada orang sehat, dosis oral tunggal zofenopril 10mg akan cepat dihidrolisis, dengan bioavailabilitas rata-rata 93%. Berarti memerlukan waktu 3,3 jam, berarti waktu absorpsi 1,4 jam dan waktu untuk puncak konsentrasi plasma (tmax) selama 0.4 jam.

Setelah pemberian oral obat zofenoprilat, untuk ginjal adalah 0,19 L / h / kg (3,1 ml / menit / kg), non-ginjal izin 0.5 L / h / kg (8,3 ml / menit / kg), volume distribusi pada steady state ( Vdss) 1.3L/kg, eliminasi paruh (t1 / 2) 5,5 jam dan rata-rata waktu tinggal 1,9 jam. Bioavailabilitas mutlak zofenoprilat adalah 78% jika dihitung dari area di bawah konsentrasi plasma-time curve (AUC) nilai darah dan 65% jika dihitung dari nilai ekskresi urin. Zofenopril dan zofenoprilat secara luas terikat dengan protein plasma, dan eliminasi adalah baik hati dan ginjal.

Dalam studi lain dosis tunggal pada pasien, administrasi zofenopril 60mg mengakibatkan nilai  waktu maksimal dari 1,19 dan 1,36 jam untuk zofenopril dan zofenoprilat, Esterases memediasi biotransformasi zofenopril ke zofenoprilat.

ACE-hambat efek zofenopril, melalui zofenoprilat, ditemukan in vitro dan in vivo menjadi 3 sampai 10 kali lebih tinggi pada basis molar daripada kaptopril. Mungkin., Properti yang paling relevan adalah zofenopril lipofilisitas tinggi ( oktanol-air koefisien distribusizofenopril 3,5, zofenoprilat 0,22), yang memungkinkan penetrasi jaringan yang luas dan berkepanjangan, dan mengikat jaringan ACE.

–         Ramipril

a.     Farmakokinetik

Ramipril adalah kerja lama angiotensin converting bukan golongan sudrifil. Enzyme (ACE) inhibitor diperkenalkan untuk penggunaan klinis sekitar satu dekade lalu Ramipril adalah obat yang mengalami de-esterifikasi dalam hati untuk membentuk ramiprilat, metabolit aktif. Ramipril cepat mendistribusikan  ke seluruh jaringan, dengan ginjal hati, dan paru-paru  menunjukkan konsentrasi nyata lebih tinggi dari obat dari darah. Setelah penyerapan dari saluran pencernaan, hidrolisis cepat ramipril terjadi di hati. Dalam rentang konsentrasi terapeutik, protein pengikatan ramipril dan ramiprilat adalah 73 dan 56%, masing-masing.

 Ramiprila tmengikat ACE dengan afinitas tinggi pada konsentrasi yang sama dengan enzim dan menetapkan keseimbangan perlahan.         

Meskipun ramipril dimetabolisme oleh hati dan mekanisme ginjal untuk kedua konjugat glucuronate dan turunan di ketopiperazine, sebagian besar obat diekskresikan dalam urin sebagai ramiprilat dan konjugat glucuronate dari ramiprilat.

Eliminasi dari tubuh ditandai dengan fase awal yang relatifcepat dengan  waktu paruh dari 7 jam dan fase akhir dengan waktu paruh sekitar 120 jam.     

Tidak ada interaksi farmakokinetik klinis signifikan antara obat ramipril         

dan lainnya telah dilaporkan.

Ramipril adalah obat yang efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung kongestif pada semua pasien, termasuk mereka dengan ginjal atau disfungsi hati, dan orang tua.

b.    Farmakodinamik

Ramipril adalah jenis obat yang disebut ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitors yang bekerja dengan cara mengendurkan pembuluh darah. Hal ini membantu mengecilkan tekanandarah.

Indikasi:
Untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi), gagal jantung, dan untuk meningkatkan kemampuan bertahan setelah serangan jantung                         .

Dosis:

1.     Pemberian dosis melalui mulut (per oral) 2.5 mg sehari saru kali.

2.     Dosis lanjutan: 10 mg melalui mulut (per oral) sehari satu kali.


Efek Samping:                                         :   
Efek CV (hipotensi, angioedema); Efek CNS (kelelahan, sakit kepala); Efek GI (gangguan perasa); Efek berturut-turut (batuk tidak berdahak; upper resp tract symptoms); Efek Dermatologis (ruam, erythema multiforme, toxic epidermal necrolysis); reaksi hipersensitivitas; Efek ginjal (kerusakan ginjal); Gangguan electrolyte (hiperkalemia, hiponatremia,); gangguan darah                                       .


Instruksi Khusus:

1.     Pasien dengan HF dan mereka yang kekurangan gula atau air (melakukan diuretic atau dialysis) mungkin mengalami hipotensi selama tahapan pemberian dosis dalam terapi ACE inhibitor. (Mulai pengobatan atas pengawasan medis; pada pasien ini gunakan dosis rendah dan lakukan dengan posisi terlentang)

2.     Hindari pada pasien dengan aortic stenosis atau outflow tract obstruction dan harus terhindar dari penyakit actual renovascular.

3.     Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat keturunan atau idiophatic angioedema.

4.     Fungsi ginjal harus diukur sebelum pemberian ACE inhibitor dan harus diawasi selama terapi. (Pasien dengan penyakit ginjal atau yang menggunakan dosis tinggi harus diawasi secara reguler untuk mencegah proteinuria

Komentar

Posting Komentar